Chapter Bab 1
Sesampainya di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Vivin Willardi teramat sangat kecewa saat mengetahui bahwa pria
yang seharusnya mengajukan akta nikah bersamanya tak kunjung tiba. Sudah lebih dari setengah jam dari waktu yang mereka
sepakati. Saat Vivin hendak menghubunginya, pria itu menghubunginya duluan. Begitu Vivin angkat teleponnya, suara murka
seorang pria menggelegar lewat telepon, “Vivin Willardi, dasar kau pembohong! Apa kau lupa sama hal-hal memalukan yang
pernah kau lakukan saat kuliah? Beraninya kau berpikir untuk menikahiku sekarang? Aku kasih tahu saja. Jangan bermimpi bisa
menikah denganku! Sekarang sudah jelas, mengapa kau sangat terburu-buru membicarakan pernikahan meskipun kita baru
saling kenal tiga hari! Jika bukan karena mantan pacarku yang pernah kuliah di kampus yang sama denganmu, aku pasti akan
tertipu olehmu! Dasar kau wanita tak tahu malu!” Dengan begitu, dia menutup telepon. Vivin bahkan tidak mendapatkan
kesempatan untuk menjelaskan dirinya sendiri. Jari-jari yang menggenggam ponselnya menjadi pucat dan bibirnya bergerak
tanpa suara. Pria tadi sama sekali tidak mengecilkan suaranya, artinya banyak orang telah mendengar suara teleponnya.
Semua orang menatapnya dengan penuh cemoohan dan rasa jijik, bagaikan ada ribuan jarum menikamnya. Kejadian ini persis
seperti malam mimpi buruk dua tahun silam. Dia merasa seolah-olah dia tertelan dalam kegelapan. Tak peduli seberapa kuat dia
mencoba, tak ada satupun jalan keluar... Butir-butir keringat terbentuk di dahinya saat ia memucat secara dramatis. Tanpa
disadari, seluruh tubuhnya mulai menggigil tak terkendali. Di samping, sepasang mata gelap yang tak dapat dipahami
mengamati wanita yang menggigil itu sambil berpikir sementara jari-jarinya yang kurus mengetuk-ngetuk sandaran tangan kursi
rodanya. “Tuan Normando.” Pada saat itu, seorang pemuda bergegas ke sisi Finno Normando. Sambil bersandar, dia berbisik,
“Nona Lopez telah memberi tahu saya bahwa dia masih terjebak macet. Dia mengatakan bahwa mungkin setidaknya butuh satu
jam untuk sampai ke sini.” “Kau bisa menyuruhnya pulang. Katakan padanya untuk tidak perlu repot-repot datang lagi.” Finno
bahkan tak sedikitpun menoleh. Tatapan tajamnya terpaku pada Vivin saat dia menambahkan dengan tenang, “Aku tak suka
wanita yang penuh kepalsuan.” “Tapi...” Si pria muda, asistennya, menampakkan ekspresi kesal. “Kakek Anda sangat
mendesak Anda untuk menikah...” Seolah-olah dia tidak mendengar kata-kata asistennya, Finno menekan tombol di kursi
rodanya untuk bergerak ke arah Vivin. “Maaf, Nona? Maukah kau menikah denganku?” Suara yang tegas dan jelas terdengar,
menyeret Vivin keluar dari kegelapan yang mengancam akan menelannya. Vivin mengangkat kepalanya, ia sedikit terkejut
dengan apa yang ada di depan matanya. Dia tidak tahu kapan itu terjadi, tetapi seorang pria berkursi roda sepertinya berhenti di
hadapannya. Rupa pria itu begitu sempurna sehingga akan menghentikan detak jantung siapa pun. Alis yang tajam dan tegas
yang bertumpu pada wajah yang terpahat sempurna, tampak seolah-olah wajahnya terukir dari marmer. Sosoknya menyerupai
mahakarya tanpa cacat. Terlepas dari kemeja putihnya yang sederhana, desainnya menonjolkan tubuhnya yang ramping namun
kuat. Duduk di kursi roda sama sekali tidak menghilangkan aura mulia dan agungnya. Sebaliknya, itu hanya membuatnya
tampak lebih tinggi dan tak bisa didekati. Hingga pria tersebut mengulangi pertanyaannya, Vivin tersadar dari lamunannya.
“Apa?” “Aku tidak sengaja mendengar suara pembicaraan teleponmu tadi. Kau sedang terburu-buru untuk menikah, kan?”
Jantungnya tiba-tiba berhenti berdetak pada kata-kata pria itu, saat penghinaan dan penderitaan melanda dirinya. Tak
menunggunya untuk menjawab, pria itu melanjutkan dengan nada acuh tak acuh. “Kebetulan sekali. Aku juga berada di posisi
yang sama. Karena tujuan kita sama, mengapa kita tidak saling membantu?” Cara sang pria mengatakannya membuatnya
terdengar seolah-olah dia sedang berbicara tentang kesepakatan bisnis, bukan salah satu peristiwa terpenting dalam hidup.
Pada titik ini, Vivin akhirnya mengerti bahwa pria ini serius tentang pernikahan mereka. Padahal, kita baru saja bertemu!
Menikah secara langsung itu sungguh keterlaluan! “Tuan, kita bahkan belum saling kenal! Bukankah ini terlalu terburu-buru dan
impulsif?” “Kau juga tidak mengenal pria-pria yang kau asal kencani itu.” Jawabannya tenang dan lugas, membuat Vivin lengah
dan terdiam. “Ah, aku mengerti sekarang. Kau meremehkanku karena aku cacat, kan?” “Tentu saja tidak!” – dia merespon
spontan. Ketika Vivin melihat secercah kegembiraan di bola mata gelap pria itu, dia menyadari bahwa dia melakukan hal persis
seperti apa yang pria ini inginkan. “Nona.” Pria melipat tangannya di atas kedua pahanya dengan anggun sebelum menatap
Vivin dengan tatapan membara. “Aku cukup yakin bahwa kau sangat membutuhkan pernikahan ini. Jika kau kehilangan
kesempatan ini sekarang, apa yang membuatmu yakin bahwa kau akan mendapatkan kesempatan kedua?” Vivin harus
mengakui bahwa pria itu sangat meyakinkan. Dia benar. Aku sangat membutuhkan pernikahan ini. Sejujurnya, mungkin lebih
tepat untuk mengatakan bahwa aku harus terdaftar sebagai anggota di Kartu Keluarga di kota ini. Hanya dengan begitu aku
akan memenuhi syarat untuk mengajukan asuransi kesehatan di sini, untuk membayar tagihan rumah sakit ibu yang mahal.
Detik demi detik berlalu saat dia menatap pria itu untuk waktu yang sangat lama. Akhirnya, ia berkata, “Apakah kau penduduk
tetap di sini, di Kota Metro?” Bibir pria itu melengkung membentuk seringai kecil. “Ya.” Sekali lagi, Vivin terdiam. Ia meremas
kuat-kuat pada Kartu Keluarganya. Meskipun ia lumpuh, namun pria di hadapannya ini memiliki tingkah laku dan penampilan
yang jelas-jelas jauh lebih unggul dari pria-pria mengerikan yang dia asal kencani baru-baru ini. Oh Vivin, bukankah satu-
satunya tujuanmu selama tiga bulan terakhir adalah menikah dengan penduduk setempat secepat mungkin? Sekarang,
kesempatan itu ada di depan mata! Mengapa kau masih ragu-ragu? Emosi yang saling bertentangan beradu di dalam dirinya.
Pada akhirnya, dia menggigit bibirnya dan menguatkan tekadnya. Wanita itu mengangguk setuju. “Baiklah, aku setuju.”